Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Semoga kabar kakak-kakak KUNers sekalian senantiasa dalam keadaan yang baik-baik saja di tengah kondisi carut-marutnya negara kita yang tercinta :)
Kehidupan perkotaan terus berputar dalam ritme yang cepat. Orang-orang berlomba dengan waktu, mengejar ambisi dan keberhasilan, tak peduli pada apa yang ada di sekeliling. Di tengah hiruk-pikuk itu, langkah saya sontak terhenti. Di pinggir lampu merah, seorang anak kecil terlihat serius belajar membaca, bukan dari buku, melainkan dari coretan-coretan di sebuah tembok lusuh coretan dari buah tangan vandalisme. Sontak pemandangan itu menohok kesadaran saya. Di saat banyak anak di kota sibuk dengan gadget dan kursus tambahan, ada anak yang bahkan belum tahu dan mengenal bentuk huruf.
Dari sana, perjalanan batin ini dimulai. Saya mencari tahu, apakah ada ruang untuk menjangkau mereka yang terpinggirkan oleh sistem? Akhirnya, saya menemukan jawabannya di Komunitas Koin Untuk Negeri, komunitas yang berdedikasi memberikan pendidikan bagi anak-anak di pelosok negeri. Mereka, relawan yang hanya bermodal semangat, memutuskan untuk melangkah ke daerah yang jauh dari kata "nyaman".
Empat hari memang bukanlah waktu yang lama, tapi penuh dengan cerita dan pelajaran. Perjalanan di hari pertama kami dimulai dengan langkah panjang menyusuri jalan berbatu dan tanjakan terjal. Matahari hampir tenggelam saat kami tiba di lokasi, seolah memberi salam atas perjalanan yang penuh perjuangan ini. Desa itu sunyi, jauh dari hingar-bingar kota. Tapi di balik kesunyian itu, kami menemukan anak-anak yang menunggu kami dengan antusiasme yang tak tergantikan.
Hari kedua dan ketiga, kami memulai kegiatan belajar di kelas yang terdiri dari anak-anak kelas 1 hingga 6 SD. Terkejut? Tentu saja. Banyak dari mereka belum mengenal huruf, meski usia mereka setara dengan anak-anak kota yang sudah fasih membaca dan menghitung. Di kelas kecil itu, kami bertemu dengan seorang anak tunawicara yang semangat belajarnya melampaui keterbatasan fisiknya. Melihatnya, kami merasa malu. Betapa seringnya kita yang diberi kemudahan malah memilih menyerah pada kesulitan.
Hari-hari tersebut mengajarkan saya akan banyak hal. Bukan hanya
tentang mengajar, tetapi tentang memahami. Anak-anak di desa itu begitu cerdas,
tetapi mereka memiliki ketakutan untuk bermimpi.
“Kalau menjadi seorang pilot,
apakah saya bisa?”
Tanya seorang anak dengan mimik wajah polos.
Hati saya terkejut mendengar kalimat tersebut. Mereka bahkan takut bercita-cita, takut akan cemoohan, atau mungkin tidak tahu bahwa cita-cita seharusnya bisa setinggi langit.
Ironis, di negeri yang konon menjunjung tinggi nilai pendidikan, masih ada anak-anak yang bahkan tidak tahu apa itu sekolah. Apa yang sebenarnya dilakukan oleh para ‘tikus berdasi’ di gedung megah yang dikelilingi kawat berduri itu? Ah, mungkin mereka terlalu sibuk menghitung laba, membangun gedung-gedung megah yang tak pernah dirasakan manfaatnya oleh anak-anak di pelosok negeri ini. Hak-hak mereka dirampas secara halus, sementara bantuan dari pusat dikebiri oleh oknum yang seharusnya menjalankan amanah. Sistem ini mencekik, hanya berpihak pada kota, dan terus menganaktirikan mereka. Kita tidak boleh tinggal diam dan membiarkan hal ini terus terjadi.
Hari keempat pengabdian, matahari pagi menyapa seolah berterima kasih atas waktu dan usaha yang telah kami curahkan di sana. Perpisahan berlangsung penuh haru. Anak-anak itu melambaikan tangan dengan senyuman sederhana, namun sangat bermakna. Kami meninggalkan mereka, tetapi bukan untuk melupakan. Perjalanan kami di dusun kecil itu memang telah berakhir, tetapi misi kami untuk terus menginspirasi masih panjang. Kami akan terus melangkah, memberikan apa yang kami mampu untuk mereka yang masih dianaktirikan oleh negeri ini. Kami akan terus berusaha menghadirkan senyum di wajah adik-adik di pelosok negeri, malaikat-malaikat kecil yang terlupakan oleh tanah kelahiran mereka sendiri.
Rangkaian refleksi ini ditulis oleh Ahmad Rifqi Yunus yang merupakan bagian dari relawan Komunitas Koin Untuk Negeri SEJARA angkatan XXXVII yang saat ini menempuh pendidikan S1 Manajemen di Universitas Negeri Makassar.
Salam sehangat mentari,
Rifqi
#DariSudutNegeriKitaMenginspirasi