Small steps for a big dreams
“Just like a pile of sand
from which magnificient buildings are built, it still begins with a fine grain
of sand. That’s how big change begins with the impact of small things, small
step”_
Penggalan quotes yang terpikirkan saat saya pertama kali terjun ke dunia
volunteering dan ditanya alasan mengapa tertarik untuk join.
Sudah sejak lama saya gelisah dengan sistem pendidikan Indonesia yang mengharuskan semua siswanya menerima materi apapun yang diajarkan di sekolah, apalagi standar penilaiannya yang tak kalah miris. Bagi seorang pelajar sekolah menengah yang saat itu masih belum berpikir terlalu jauh dan beropini terlalu tinggi, masalah sistem pendidikan ini hanyalah objek untuk disalahkan dan dikeluhkan karena menemui pelajaran yang sulit dipahami. Masa itu, jika ditanyai masalah pendidikan di Indonesia, jawabannya itu-itu saja “ketidakadilan sistem pendidikan yang mengharuskan setiap anak pandai disemua bidang atau mata pelajaran yang disajikan di sekolah.” Kalau kata Deddy Corbuzier “mengajari ikan untuk terbang hanya akan membuat si ikan mati.” Jadi, kalau melihat fungsi dan tujuan dari pendidikan sebenarnya sudah dipastikan masih jauh dari kata tercapai. Kalau searching di web ‘apasih fungsi dan tujuan pendidikan?’ jawabannya gak akan jauh-jauh dari ‘untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak peserta didik agar menjadi pribadi yang bermartabat’. Lantas, jika sistemnya masih begitu-begitu saja, jangankan mengembangkan kemampuan peserta didik, mengenali potensi diri saja sangat sulit. Membentuk watak?? Watak seperti apa yang akan terbentuk dari sistem pendidikan yang hanya memandang nilai seorang siswa dari segi angka sehingga membuat siswa menghalalkan segala cara hanya untuk memenuhi tuntutan nilai di atas KKM. Lalu menjadi pribadi yang bermartabat?? Hmm.. terlalu panjang kalau harus dikupas satu-persatu.
“Jahatnya pendidikan di Indonesia adalah membuat siswanya tidak bisa yakin dan confidence bahwa dirinya berbeda dengan orang lain” – Pandji Pragiwaksono. Padahal realitanya, jenis kecerdasan tiap orang saja berbeda-beda (visual, spasial, linguistik, kinestetik, musical, matematis, naturalis, interpersonal, dan kecerdasan intrapersonal). Namun mirisnya di Indonesia, siswa akan terlihat bodoh hanya karena mereka terpaksa mempelajari pelajaran yang sebenarnya dia tidak suka atau tidak sesuai dengan tipe kecerdasannya. Padahal, kita tidak bisa mengkategorikan seorang anak pintar atau bodoh, tidak pantas! Yang ada, tiap anak hanya akan menonjol ke suatu atau beberapa kecerdasan saja. Mereka yang tak terlalu menonjol dalam matematika mungkin lebih handal dalam bidang kesenian dan akan menjadi seorang seniman hebat in the future, no one knows. Hal seperti ini merujuk kepada fakta yang lebih miris alih-alih mendidik siswa. Yup, fakta yang lebih mirisnya yakni sistem pendidikan yang masih keuhkeuh diterapkan di sekolah-sekolah ini akan membunuh kreativitas pelajarnya. Back to the point, siswa dipaksa untuk harus mempelajari hal yang sama, dengan metode yang sama, dan harus mencapai standar penilaian yang sama tanpa peduli apa yang menjadi minat dan potensi siswa yang perlu dikembangkan. Pada akhirnya, hal ini membunuh kreativitas, potensi, dan kepercayaan diri anak, bukan?
Semakin dewasa, memasuki dunia kuliah tentunya dengan pikiran yang sudah jauh lebih terbuka, saya semakin sadar bahwasanya permasalahan pendidikan di Indonesia ternyata bukan hanya sekadar masalah sistem pendidikannya saja. Agustus 2022 untuk pertama kalinya, saya mengikuti rasa penasaran saya selama ini untuk mengikuti volunteer pendidikan ke daerah pelosok. Saat interview, pertanyaan yang sudah saya sangka-sangka ditanyakan lagi saat itu, “Permasalahan pendidikan di Indonesia” namun kali ini yang ditanyakan di pelosok. Saat itu, jawaban yang ada di kepala saya masih sebatas prakira dan khayalan bagaimana kondisi pendidikan di daerah pelosok sana, mengingat selama ini yang saya temui hanyalah masalah-masalah yang kita hadapi di daerah yang sudah terbilang maju. Pertanyaan lainnya, kenapa ingin join volunteer? Jawaban saya saat itu ada di quotes pembuka tulisan ini. Saya rasa, masih sangat mustahil bagi saya berkontribusi besar apalagi jika serta-merta bervisi-misi ingin memperbaiki permasalahan pendidikan di Indonesia. Mengingat juga, pentingnya prinsip 4C (communication, collaboration, critical thinking, and creativity) 21 century skill (keterampilan era-21) yang sangat penting diterapkan di zaman modern ini. Dan saya rasa, menjadi seorang volunteer pendidikan adalah wadah untuk saya bisa memulai langkah-langkah kecil yang diharapkan can make a big impact someday. Atau setidaknya, saya bisa bertemu dan membangun kolaborasi dengan orang-orang dengan pemikiran dan tekad yang sama mengenai pendidikan di negeri ini.
Singkat cerita...
Kamis, 18 mei 2023 setelah melalui beberapa tahapan, saya Alhamdulillah berkesampatan mengikuti pemberangkatan volunteer pendidikan lagi ke pelosok bersama komunitas Koin Untuk Negeri (KUN), yang berlokasi di Dusun Borongbuah, Desa Rannaloe, Kab. Gowa. Perjalanan kesana saja sudah sangat berkesan, berjalan kaki sama-sama, mendaki dan menuruni gunung diiring pemandangan alam luar biasa yang hampir tak bisa dijumpai di tengah kota yang diselimuti polusi, belum lagi beban yang ditanggung. Bukan tentang beban barang, melainkan beban amanah dan tanggung jawab yang telah setuju untuk kita pikul ke pelosok. Manfaat apa yang kira-kira sedikitnya bisa berkesan bagi adik-adik binaan serta masyarakat setempat nantinya, hal-hal itu sudah terpintas di benak saya sepanjang perjalanan.
Saat sampai ke hunian yang disiapkan untuk kami tinggali, saya tertegun melihat bagaimana warga di sana menyambut kami dengan sangat ramah dan hangat. Melihat adik-adik bermain dengan sangat semangat di lapangan sore itu membuat rasa lelah di perjalanan hilang seketika. Sangat bersyukur rasanya diberi kesempatan sampai kesana. Suasana tenang dan nyaman tanpa gadget dan alarm deadline hehe, warga yang ramah, udara yang sejuk bebas polusi, teman-teman yang asyik, golden view saat sunset, sunrise, apalagi langit malamnya yang MasyaAllah.
Setelah
salat
subuh, senam dan games pagi (yang jatuhnya lebih ke comedy stages), kita
kemudian sarapan dan prepare untuk kesekolah. What a surprise, lagi-lagi
kami di
sambut dengan sangat ramah dan semangat oleh adik-adik dan pihak sekolah.
Bahkan ada persembahan tari kreasi dan tari saman oleh adik-adik MIS Guppi
Borongbuah. Setelah sambutan yang amat hangat, kita lanjut membentuk lingkaran
besar untuk membuka kelas pertama, yakni kelas agama. Begitu juga dengan
kelas-kelas lain berikutnya, selalu dibuka dengan lingkaran besar di mana kami para relawan
dan adik-adik bergandengan tangan dan berkenalan. Bagi saya, lingkaran besar
ini selain ajang pendekatan kami relawan dengan adik-adik juga menjadi waktu
re-charger kami saat pergantian kelas. Setelah megajar dan mengawal adik-adik
dari kelas pertama dan akan berganti ke kelas berikutnya, daya kita seperti
terisi kembali saat bergandengan tangan dengan adik-adik di lingkaran besar, melihat
semangat mereka yang masih menyala di tengah terik matahari yang kian meninggi.
Setiap
selesai kelas, salah satu kegiatan yang saya cukup banyak belajar yakni
evaluasi. Evaluasi merupakan saat di mana kita berdiskusi dan bertukar
pikiran serta pendapat mengenai kelas yang telah dijalankan. Disinilah kita
belajar banyak mengenai advantages and disadvantages saat pembelajaran dan apa
saja yang kedepannya perlu kita lanjutkan atau hilangkan untuk ketercapaian
pengetahuan adik-adik. Sorenya, diisi dengan kegiatan bermain seru bersama adik-adik di lapangan, dan malamnya kembali
lagi briefing persiapan untuk kelas berikutnya besok.
Keesokan malamnya setelah serangkaian kegiatan pembelajaran seperti hari sebelumnya dengan kelas yang berbeda, tepatnya malam terakhir kami di Dusun Borongbuah, kami kembali tersentuh oleh antusiasme warga setempat yang mengadakan ramah tamah dan menyajikan cemilan di lapangan diiringi api unggun yang menjadikan malam itu sangat berkesan. Bersama para warga, kami relawan, dan adik-adik Dusun Borongbuah duduk bersama di lapangan diselimuti hangatnya api unggun dan indahnya pemandangan langit bertabur bintang. Kami kemudian kembali membuat lingkaran besar, saling bergandengan tangan, mengelilingi api unggun sambil menyanyikan lagu laskar pelangi. Lagi-lagi, sangat bersyukur diberi kesempatan memiliki moment bersama orang-orang baik di Desa Borongbuah, kesempatan memiliki pengalaman dan memori tak terlupakan serta tentunya bekal ilmu yang sangat bermanfaat untuk dibawa pulang.
Ikut
mengabdi ke pelosok membuat saya lebih insightful bahwasanya ternyata tak hanya
masalah sistem pedidikan dan masalah kurikulum pembelajaran saja yang menjadi
masalah pendidikan di Indonesia. Jauh di pelosok sana yang bahkan mungkin
hampir tak pernah tersentuh fasilitas pendidikan yang layak dari pemerintah,
puluhan, ratusan,
bahkan lebih anak-anak memperjuangkan mimpi mereka. Fasilitas pendidikan dan
sarana prasarana yang seadanya, hingga tenaga pengajar yang masih sangat
terbatas. Anak-anak di pelosok
yang masih sangat semangat belajar dengan cita-cita yang mungkin masih sangat
samar dan asing bagi mereka membuka mata kita bahwasanya mereka perlu uluran
tangan kita. Kedatangan kita ke pelosok bagi mereka adalah satu titik terang
yang memacu mereka agar bisa tetap semangat belajar dan mengejar cita-cita
mereka.
Disisi
lain, datang
ke pelosok
merupakan kelegaan tersendiri bagi kita yang tiap hari disesakkan oleh kompetisi ego di tengah
kehidupan monoton perkotaan.
Di mana
semua orang terlihat sibuk bersaing
untuk menjadi si paling
dalam segala hal hingga lupa diri dan lupa bersyukur. Datang ke pelosok mengobati batin
kita dari kejamnya persaingan itu, membuka mata kita dan membuat kita
sekali-kali menunduk dan merenung, untuk belajar mensyukuri dan menghargai hal-hal
kecil yang kita miliki dalam hidup. Karena itu, bagi saya menjadi seorang
relawan pendidikan di pelosok,
bukan hanya tentang mengajar, tetapi juga belajar lebih banyak hal. Belajar
menghargai, bersyukur, ikhlas, mengontrol ego, problem solving, time
management, dan
tentunya terus
berusaha menjadi manusia yang bisa bermanfaat bagi manusia lainnya.
Semoga, niat baik dan langkah demi langkah yang kita perjuangkan for the best education di Indonesia ini dapat terus berlanjut dan memberi dampak kedepannya. Semoga kita bisa terus haus ilmu dan terus ikhlas untuk berbagi ilmu yang kita miliki, serta terus punya rasa peduli dan rasa syukur di dalam diri kita. Terima kasih komunitas Koin Untuk Negeri, kakak-kakak relawan dan seluruh warga Borongbuah untuk semua kehangatan, pembelajaran dan pengalaman berharganya sejauh ini. The stories may be short, but the memories stay forever. Can't wait for the next meaningful story with y'all.
Best
regards, Mutia
#darisudutnegerikitamenginspirasi