Si Manis Jembatan Pattiro - Kak Tommy Tarminsyah


Mungkin di fikiran kakak-kakak pembaca begitu melihat judul tulisan saya adalah si manis jembatan ancol, sebuah film series horror semi komedi yang begitu legendaris di akhir tahun 90-an dan di awal tahun 2000an serta membayangkan suatu tempat yang “creepy” nan menakutkan untuk didatangi. Tapi percayalah, “si manis” yang saya maksudkan disini sama sekali berbeda dengan yang ada di benak kakakkakak semua, jadi ada ungkapan yang paling tepat untuk tulisan saya yaitu jangan melihat sebuah narasi hanya dari judulnya. 

“Si Manis” yang saya maksudkan disini adalah sebuah idiom yang menggambarkan kenangan dari adik-adik lucu bersama kakak-kakak relawan yang selalu bersemangat dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar selama Tim Relawan SEJARA XXIX berada di Dusun Makmur serta jembatan penghubung dusun yang menjadi saksi bisu dari kenangan kami semua.

Dusun Makmur adalah salah satu dusun di desa Bonto Manurung, Kecamatan Tompobulu, di Kabupaten Maros yang berjarak kurang lebih sekitar 3 jam perjalanan menggunakan sepeda motor. Sebuah dusun yang dikelilingi dikelilingi pegunungan dan dilintasi oleh sungai Tompobulu dan Sungai Bontoparang di sekitarnya, menyimpan banyak cerita dibalik ketenangan, kearifan serta keramahan warga bersama adik-adik didalamnya. Sebuah dusun yang bisa menyadarkan kita, sebagai seseorang yang diberi rezeki oleh Tuhan, bahwa dibalik rasa penatnya menuntut ilmu, kita harusnya bersyukur dengan segala “kemewahan” yang didapatkan selama ini. Betapa di suatu desa yang begitu dekat dengan Kota Metropolitan paling padat keempat di Indonesia yaitu Kota Makassar, terdapat sebuah dusun dengan pendidikan yang cukup kurang diperhatikan oleh Instansi pendidikan. Sebuah kenyataan yang bisa “menampar” kita sebagai insan yang berpendidikan bahwa betapa kurang fokusnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan pendidikan di daerah pelosok. Tapi apakah yang kita bisa lakukan, hanya menunggu aksi pemerintah saja ? 

Pattiro, sebuah nama yang lebih melekat di penduduk dusun makmur untuk menyebut daerah tempat tinggal mereka, yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan, dengan segala ketenangannya, mengantarkan saya, mengajarkan saya bahwa keadaan bukanlah suatu hal perlu terlalu dipikirkan. Melalui adik-adik kecil yang tetap giat bersekolah di tengah keterbatasannya, dan bersama kakak-kakak relawan dari Komunitas Koin Untuk Negeri, saya mendapatkan sebuah refleksi baru, sebuah permata kehidupan yang belum tentu ditemukan oleh banyak orang diluar sana. Dan sebuah keberuntungan, saya diperkenankan untuk bergabung ke dalam program Sekolah Jejak Nusantara (SEJARA) XXIX, memberikan edukasi kepada adik-adik betapa pentingnya pendidikan sejak dini serta proses pembelajaran yang bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan. Dan pada akhirnya, kebahagiaan pun datang menghampiri. Bahkan kebahagiaan itu datang dari sesuatu yang tidak disangka-sangka dan saya merasa 4 hari menjalani kegiatan SEJARA XXIX, menjadi salah satu momen dari hari-hari yang paling bermanfaat untuk orang-orang di sekitar saya.

Namun, pada akhirnya, ungkapan lawas itu akhirnya terbukti kembali, “setiap pertemuan selalu harus diakhiri dengan perpisahan”. Hari kepulangan akhirnya tiba dan mengharuskan kami semua berpisah dengan adik-adik dan dusun makmur berikut segala kearifan warganya. Bersama dengan itu, adik-adik di pattiro telah “mengajarkan” kepada kami semua dari sebuah makna hidup baru, bahwa jauhnya jarak setitik ilmu dan panasnya terik matahari, bukanlah penghalang yang perlu kita pikirkan, yang kamu perlukan hanya semangat saja, biar raga ini yang selesaikan sisanya. 

Tetaplah berbuat kebaikan, karena kebaikan adalah lagu merdu yang hanya bisa didengar oleh orang tuli, sekaligus bunga elok yang bisa dilihat oleh orang buta. Dari sudut negeri, kita mengispirasi.

 -Sekolah Jejak Nusantara XXIX-

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama