Mendidik adalah tugas konstisional negara, tetapi sesungguhnya mendidik adalah tugas moral bagi tiap orang yang terdidik begitulah yang sering di ungkapkan Anies Baswedan waktu masih menjabat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan di Indonesia.
Sebagai Mahasiswa di salah satu kampus swasta di makassar memaknai pendidikan sebagai proses mencetak generasi-generasi intelektual untuk memberikan solusi bagi setiap permasalahan negeri ini tentunya tak cukup hanya mengandalkan tingginya nilai IPK anda ataupun seberapa rajin anda masuk dan mengerjakan tugas-tugas kuliah yang di berikan oleh para dosen tentunya di perlukan kepekaan mendalam terhadap fenomena-fenomena yang terjadi negeri ini terkhususnya dalam aspek pendidikan yang ada, jika di tanya seberapa mampu sih anda untuk bisa menrefleksi dunia pendidikan saat ini? Mungkin saya pun masih kekurangan banyak data untuk menjawab pertanyaan ini.
Pada kesempatan yang lalu saya mengikuti salah satu program sekolah jejak nusantara yang diadakan oleh komunitas koin untuk negeri salah satu komunitas di makassar yang bergerak dalam dunia pendidikan dan sosial. Mengenal lebih dalam pendidikan yang ada di pelosok negeri tentunya akan menambah wawasan kita terkait fenomena-fenomena pendidikan yang ada di negeri ini tepatnya di Kabupaten Maros Kecamatan Tompobulu Desa Bonto Somba Dusun Bara.
Jarak yang di tempuh dengan berkendara selama kurang lebih dua jam dengan medan yang agak ekstrim mengharuskan perjalanan harus di lanjutkan dengan berjalan kaki selama kurang lebih 3-4 jam lamanya mendaki dan menurun melewati jembatan gantung hamparan sawah dari ketinggian serta air yang mengalir dari gunung yang langsung bisa di minum menambah semangat teman-teman relawan untuk sampai pada lokasi tujuan meski harus membawa tas besar untuk kebutuhan hidup dan materi ajar yang akan di pake untuk beberapa hari pengabdian hal itu tak membuat teman-teman mengeluh dan itu sudah menjadi kebiasaan bagi para relawan KUN (Koin Untuk Negeri) untuk tetap menginspirasi di berbagai pelosok negeri.
Tentunya tak seperti di kota disaat anak-anak di tunjang fasilitas lengkap dalam belajar di dusun bara siswa masih duduk melantai dalam menerima pelajaran yang ada tak heran jika kebanyakan siswa lebih suka memakai sendal kesekolah daripada memakai sepatu bahkan putih merah di pake setiap hari, ada pula yang memakai baju pramuka dengan celana levis ke sekolah dan kalau ditanya pasti jawabannya akan bermacam-macam ada yang mengatakan seragam sekolahnya memang hanya ada merah putih saja, ada yang bilang seragamnya udah kekecilan ada yang bilang sudah robek dan tak pernah di jahit-jahit lagi dan jika kita lihat seragam mereka memang kebanyakan sudah kusut dan lama tak pernah di ganti yang baru lagi mungkin begitulah sedikit potret pendidikan yang ada saat ini.
Saya pun sempat berpikir andai saja sistem aturan pendidikan sekolah yang ada di kota sama halnya diterapkan di sekolah-sekolah pelosok mungkin saja siswa-siswa di dusun bara banyak yang tak lagi mau kesekolah hanya terkendala seragam sekolah yang harus di seragamkan.
Pada suatu kesempatan pada kelas agama saya mengajari salah satu siswa bernama Mita siswa kelas dua di dusun bara gadis kecil berwajah mirip ala india yang memakai seragam putih merah dengan jilbab hijau dikepalanya setiap hari Mita selalu membawa adiknya ke sekolah yang bernama Salasa bocah kecil yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak yang selalu memakai seragam olahraga dan memakai topi SMP sebagai penutup kepalanya dan jika ditinggal atau dipisahkan dengan kakaknya Salasa akan menangis sekencang-kencangnya. Materi ajar saat itu mengenal huruf hijaiyyah dan tes mengaji iqro’ dan ternyata Mita benar-benar belum bisa mengaji bahkan belum terlalu mengenal hijaiiyah dan jika kutanya huruf apa ini dia hanya menggeleng malu-malu tidak tahu.
Ada satu kejadian yang tak bisa kulupa dari mita saat mengajarinya mengenal huruf hijaiiyah dengan media yang ku pegang saat itu berupa huruf-huruf hijaiiyah saya mencoba menyebutkan satu persatu huruf tersebut dan kemudian di ikuti oleh Mita saya menyebutkan 6 huruf awal di huruf hijaiiyaah Alif, ba, ta tsa, ja ha. “Mita coba ulangi Mita pun mengulanginya alif, ba, ta, ja, ehh.. bukan ja tapi tsa sudah pi tsa baru ja begitu kataku kepada mita” dan saya pun mencoba menunjuk huruf kemudian mita mencoba menyebutkan huruf tersebut saya menunjukkan huruf alif dan seterusnya secara berurut.
“ Apa ini Mita”
“alif”
Kalau yang ini
“Ba”
Yang ini
“Ta”
Apa ini “Ja”
Dan dia pun kembali menyebutkan huruf ja ( خَ ) meskipun yang kutunjuk adalah huruf tsa ( ث ). Dan saya mencobanya lagi berharap dia sudah mengenali huruf tsa
“ Apa ini Mita”
“alif”
Kalau yang ini
“Ba”
Yang ini
“Ta”
Apa ini
“Ja”
Dan dia kembali lagi menyebutkan huruf ja meskipun yang kutunjuk adalah huruf tsa dan saya pun kembali memberikan pengertian lagi kalau huruf ini adalah huruf tsa ( ث ) bukan huruf ja ( خَ ) dan saya pun mengulanginya lagi berharap kali ini berhasil dan mampu membedakan yang mana huruf ja yang mana tsa
“ Apa ini Mita”
“alif”
Kalau yang ini
“Ba”
Yang ini
“Ta”
Apa ini
“Ja”
“ eh bukan, itu tsa” sontak mita berdiri dengan keningnya yang agak mengkerut tajam, matanya merah berkaca-kaca melototi saya sambil menarik adiknya salasa, dia berdiri di ujung pintu dan tampaknya dari bahasa tubuhnya dia tak mau lagi belajar dengan saya, saya mencoba membujuk beberapa kali tetap dia tak mau mendekati saya meskipun saya berusaha meminta maaf bahkan saya terus membujuknya hingga jam belajar usai dan akhirnya jam pulang tetap saja Mita belum benar-benar memaafkan saya.
Esoknya kami dan relawan yang lain pun bersiap-siap untuk balik ke makassar, pada saat itu hari minggu dan saya tak bisa menjumpai Mita di sekolah di karenakan memang hari libur dan saya pun belum sempat menanyakan di mana rumahnya.
Kejadian kemarin akan selalu menjadi catatan penting bagi saya meskipun di bangku kuliah saya menggeluti bidang ilmu pendidikan, saya belajar psikologi pendidikan, metode pembelajaran, microteaching dan hal-hal yang terkait dengan proses mendidik tapi pada saat mendapat materi ini di kampus saya agak menyepelekan mata kuliah tersebut mungkin di karenakan memang saya jarang masuk ataupun ketika masuk kurang memperhatikan apa yang di jelaskan para dosen.
Akhirnya saya di buat sadar oleh Mita betapa penting mempelajari teori-teori mendidik sebelum mempraktekkannya, betapa pentingnya mengetahui karakter siswa terlebih dahulu sebelum masuk pada materi ajar, dan betapa pentingnya mengetahui kemampuan siswa terlebih dahulu sebelum memberikannya tugas dalam belajar. Anda boleh saja memaksa siswa masuk kelas dan menyuruhnya diam tapi tidak untuk memahami dan mengerti apa yang kalian ajarkan dan saya belajar banyak hal dari marahnya Mita saat itu kepada saya dan semoga saya bisa ketemu lagi dengan Mita dan berdamai lagi dengan saya dan saya harap ia sudah mampu membedakan yang mana huruf tsa yang mana huruf ja dan sudah bisa mengaji dengan lancar.
Relawan Sekolah Jejak Nusantara
Sebagai Mahasiswa di salah satu kampus swasta di makassar memaknai pendidikan sebagai proses mencetak generasi-generasi intelektual untuk memberikan solusi bagi setiap permasalahan negeri ini tentunya tak cukup hanya mengandalkan tingginya nilai IPK anda ataupun seberapa rajin anda masuk dan mengerjakan tugas-tugas kuliah yang di berikan oleh para dosen tentunya di perlukan kepekaan mendalam terhadap fenomena-fenomena yang terjadi negeri ini terkhususnya dalam aspek pendidikan yang ada, jika di tanya seberapa mampu sih anda untuk bisa menrefleksi dunia pendidikan saat ini? Mungkin saya pun masih kekurangan banyak data untuk menjawab pertanyaan ini.
Pada kesempatan yang lalu saya mengikuti salah satu program sekolah jejak nusantara yang diadakan oleh komunitas koin untuk negeri salah satu komunitas di makassar yang bergerak dalam dunia pendidikan dan sosial. Mengenal lebih dalam pendidikan yang ada di pelosok negeri tentunya akan menambah wawasan kita terkait fenomena-fenomena pendidikan yang ada di negeri ini tepatnya di Kabupaten Maros Kecamatan Tompobulu Desa Bonto Somba Dusun Bara.
Jarak yang di tempuh dengan berkendara selama kurang lebih dua jam dengan medan yang agak ekstrim mengharuskan perjalanan harus di lanjutkan dengan berjalan kaki selama kurang lebih 3-4 jam lamanya mendaki dan menurun melewati jembatan gantung hamparan sawah dari ketinggian serta air yang mengalir dari gunung yang langsung bisa di minum menambah semangat teman-teman relawan untuk sampai pada lokasi tujuan meski harus membawa tas besar untuk kebutuhan hidup dan materi ajar yang akan di pake untuk beberapa hari pengabdian hal itu tak membuat teman-teman mengeluh dan itu sudah menjadi kebiasaan bagi para relawan KUN (Koin Untuk Negeri) untuk tetap menginspirasi di berbagai pelosok negeri.
Tentunya tak seperti di kota disaat anak-anak di tunjang fasilitas lengkap dalam belajar di dusun bara siswa masih duduk melantai dalam menerima pelajaran yang ada tak heran jika kebanyakan siswa lebih suka memakai sendal kesekolah daripada memakai sepatu bahkan putih merah di pake setiap hari, ada pula yang memakai baju pramuka dengan celana levis ke sekolah dan kalau ditanya pasti jawabannya akan bermacam-macam ada yang mengatakan seragam sekolahnya memang hanya ada merah putih saja, ada yang bilang seragamnya udah kekecilan ada yang bilang sudah robek dan tak pernah di jahit-jahit lagi dan jika kita lihat seragam mereka memang kebanyakan sudah kusut dan lama tak pernah di ganti yang baru lagi mungkin begitulah sedikit potret pendidikan yang ada saat ini.
Saya pun sempat berpikir andai saja sistem aturan pendidikan sekolah yang ada di kota sama halnya diterapkan di sekolah-sekolah pelosok mungkin saja siswa-siswa di dusun bara banyak yang tak lagi mau kesekolah hanya terkendala seragam sekolah yang harus di seragamkan.
Pada suatu kesempatan pada kelas agama saya mengajari salah satu siswa bernama Mita siswa kelas dua di dusun bara gadis kecil berwajah mirip ala india yang memakai seragam putih merah dengan jilbab hijau dikepalanya setiap hari Mita selalu membawa adiknya ke sekolah yang bernama Salasa bocah kecil yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak yang selalu memakai seragam olahraga dan memakai topi SMP sebagai penutup kepalanya dan jika ditinggal atau dipisahkan dengan kakaknya Salasa akan menangis sekencang-kencangnya. Materi ajar saat itu mengenal huruf hijaiyyah dan tes mengaji iqro’ dan ternyata Mita benar-benar belum bisa mengaji bahkan belum terlalu mengenal hijaiiyah dan jika kutanya huruf apa ini dia hanya menggeleng malu-malu tidak tahu.
Ada satu kejadian yang tak bisa kulupa dari mita saat mengajarinya mengenal huruf hijaiiyah dengan media yang ku pegang saat itu berupa huruf-huruf hijaiiyah saya mencoba menyebutkan satu persatu huruf tersebut dan kemudian di ikuti oleh Mita saya menyebutkan 6 huruf awal di huruf hijaiiyaah Alif, ba, ta tsa, ja ha. “Mita coba ulangi Mita pun mengulanginya alif, ba, ta, ja, ehh.. bukan ja tapi tsa sudah pi tsa baru ja begitu kataku kepada mita” dan saya pun mencoba menunjuk huruf kemudian mita mencoba menyebutkan huruf tersebut saya menunjukkan huruf alif dan seterusnya secara berurut.
“ Apa ini Mita”
“alif”
Kalau yang ini
“Ba”
Yang ini
“Ta”
Apa ini “Ja”
Dan dia pun kembali menyebutkan huruf ja ( خَ ) meskipun yang kutunjuk adalah huruf tsa ( ث ). Dan saya mencobanya lagi berharap dia sudah mengenali huruf tsa
“ Apa ini Mita”
“alif”
Kalau yang ini
“Ba”
Yang ini
“Ta”
Apa ini
“Ja”
Dan dia kembali lagi menyebutkan huruf ja meskipun yang kutunjuk adalah huruf tsa dan saya pun kembali memberikan pengertian lagi kalau huruf ini adalah huruf tsa ( ث ) bukan huruf ja ( خَ ) dan saya pun mengulanginya lagi berharap kali ini berhasil dan mampu membedakan yang mana huruf ja yang mana tsa
“ Apa ini Mita”
“alif”
Kalau yang ini
“Ba”
Yang ini
“Ta”
Apa ini
“Ja”
“ eh bukan, itu tsa” sontak mita berdiri dengan keningnya yang agak mengkerut tajam, matanya merah berkaca-kaca melototi saya sambil menarik adiknya salasa, dia berdiri di ujung pintu dan tampaknya dari bahasa tubuhnya dia tak mau lagi belajar dengan saya, saya mencoba membujuk beberapa kali tetap dia tak mau mendekati saya meskipun saya berusaha meminta maaf bahkan saya terus membujuknya hingga jam belajar usai dan akhirnya jam pulang tetap saja Mita belum benar-benar memaafkan saya.
Esoknya kami dan relawan yang lain pun bersiap-siap untuk balik ke makassar, pada saat itu hari minggu dan saya tak bisa menjumpai Mita di sekolah di karenakan memang hari libur dan saya pun belum sempat menanyakan di mana rumahnya.
Kejadian kemarin akan selalu menjadi catatan penting bagi saya meskipun di bangku kuliah saya menggeluti bidang ilmu pendidikan, saya belajar psikologi pendidikan, metode pembelajaran, microteaching dan hal-hal yang terkait dengan proses mendidik tapi pada saat mendapat materi ini di kampus saya agak menyepelekan mata kuliah tersebut mungkin di karenakan memang saya jarang masuk ataupun ketika masuk kurang memperhatikan apa yang di jelaskan para dosen.
Akhirnya saya di buat sadar oleh Mita betapa penting mempelajari teori-teori mendidik sebelum mempraktekkannya, betapa pentingnya mengetahui karakter siswa terlebih dahulu sebelum masuk pada materi ajar, dan betapa pentingnya mengetahui kemampuan siswa terlebih dahulu sebelum memberikannya tugas dalam belajar. Anda boleh saja memaksa siswa masuk kelas dan menyuruhnya diam tapi tidak untuk memahami dan mengerti apa yang kalian ajarkan dan saya belajar banyak hal dari marahnya Mita saat itu kepada saya dan semoga saya bisa ketemu lagi dengan Mita dan berdamai lagi dengan saya dan saya harap ia sudah mampu membedakan yang mana huruf tsa yang mana huruf ja dan sudah bisa mengaji dengan lancar.
Relawan Sekolah Jejak Nusantara