Kakak Deden Lagi Mengajar Kelas Literasi |
Perjalanan panjang menjelang sore itu kami mulai dengan doa. Tangan yang penuh dosa ini tiba-tiba terbuka dan terangkat. Sedikit harapan bahwa ada senyum dibalik kata yang terpanjatkan. Saat melangkah maju, ada sedikit keraguan yang terbesit dihati. “Akankah sampai sebelum tiba?”. Aku butuh jawaban pasti dan itu salah satu alasanku melanjutkan langkah kedua dan seterusnya.
Tiba dipertengahan jalan aku melihat nafas-nafas yang penuh harap itu tersentak dan jatuh melayukan daun-daun pohon yang telah gugur, sesekali ranting –ranting tak berdosa dipatahkannya. Aku curiga, sepertinya ini bentuk kekesalan dari rasa letih itu.
Kamipun beranjak pergi meninggalkan zona nyaman sesaat itu. Dalam hatiku berkata “ini hanya permainan alam yang sedang membuli kami yang lupa akan keindahanya”. Sedikit bisikan daun hijau itu “hey… tetap nikmati permainan ini, jangan cepat puas karna masih ada hal-hal baru yang belum kau tau”. Suara bisik itu mengganggu! Dengan nada agak sedikit naik aku berkata: “Hey daun hijau, jangan coba merayuku dengan keindahanmu. Karna engkaupun tidak tau bahwa hal hal baru itu hanya aku yang rasakan bukan kamu!”.
Daun pun layu dan malu, tiba-tiba jatuh dan kering seperti aku dan tenggorokanku. Tidak ada bekal air yang ku bawa, hanya modal keringat yang bercucuran. Entahlah mungkin keringat ini sedang tidak ingin bersamaku! Sampai di atas bukit tempat persinggahan selanjutnya, aku menemukan hal baru yang di tawarkan daun tadi. Seorang perempuan separuh baya yang sedang berjalan sendiri, ku lihat ada tentengan yang dia bawa.
Entahlah ini sangat rahasia karna tak sedikit pun celah yang terlihat dari tentengan itu. Tiba-tiba nenek itu mengeluh dan berkata: ”Nak, mataku sedang sakit dan perih” (Dengan menggunakan bahasa daerah yang tidak ku mengerti). Hehehe Kemudian kami mencoba sedikit meringankan sakit nenek itu dengan obat seadanya. Dan Alhamdulillah bisa terbantu walaupun hanya sedikit.
Tiba saat kami (rombongan) sampai di lokasi pengabdian, dan saat itu menjelang malam aku tak berani menyentuh air karena dinginnya sedikit melukai kulitku. Tapi karena bekal api dihatiku, akupun sedikit terhangatkan oleh kesunyian ditambah lagi lantunan ayat yang dibacakan ustas ipul. Hehehe Malam pun mulai menampakan dirinya yang asri. Kami melakukan sesi diskusi tentu untuk persiapan di hari esok mengajar. Banyak pendapat dan sedikit perdebatan yang dilontarkan, bagiku itu adalah irama tengah malam yang indah.
Keesokan harinya dipagi yang cerah kami pun memulai aktivitas. Berbagi dan memberikan banyak senyum kepada adik-adik. Tepatnya di dusun Moncongan Kabupaten Gowa. Nama yang unik, seunik anak anak yang ada di sana. Selama 2 hari kami mengajar dan begitu akrab kami dengan anak-anak dan masyarakat disekitar desa itu. Semuanya berjalan dengan sesuai rencana dan itu baik tentunya. Hal-hal penting yang membuatku terus belajar adalah tentang “perbedaan” dan perbedaan itu yang melahirkan kongklusi pada pikiranku bahwa itu manusiawi.
Tentu manusia dengan beragam pemikiranya mempunyai keunikan tersendiri. Bukan berarti harus menyeragamkan perbedaan itu karena bagi saya semua hal itu adalah aset dari kekayaan manusia yang diberikan tuhan. “Bersyukur dan ikhlas adalah kuncinya”. Kisah selanjutnya saat aku sedikit demam. Ada hal yang sungguh membuka mataku bahwa ketika melangkah maju ada banyak tantangan tentu dengan cobaan yang berat dan itu memaksa kita keluar dari zona nyaman.
Pada akhirnya, demam itupun sedikit terobati bukan karena obat parasetamol tapi semangatku melawan kebekuan. Jiwa yang terus bersemayam pada keindahannya. Sakit itu penting karna pada saat itu kita bisa merasa betapa pentingnya sehat dan itu mengajarkan saya tentang pentingnya bersukur atas nikmat tuhan “Alhamdulillah”.
Terima kasih telah banyak mengajarkan saya tentang diri saya sendiri dengan segala kekurangannya. Terkhusus untuk Allah SWT dengan hidayahnya mempertemukan aku dengan keluarga baru yang sangat hebat. Manusia-manusia pengabdi yang punya banyak bakat dibidangnya. Tentu dengan dorongan nurani dalam mengabdi pada manusia yang membutuhkan. “koin untuk Negeri” dan “Sekolah Jejak Nusantara” tetap mengabdi tanpa batas untuk kemanusiaan dan mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
Penulis : Agussalim Paradeden Kampus : Unismuh Makassar Relawan : Angkatan 14