Desa kompang berparas gunung dengan wilayah yang sebagian besar berupa pegunungan dan perbukitan dengan ketinggian 400-700 mdpl, menjadikan suhu di desa ini berada pada angka 20oC - 25oC. Sebagian besar wilayahnya ditumbuhi oleh vegetasi pinus (460 Ha) yang merupakan wilayah hutan lindung dan selebihnya berupa vegetasi alamiah yang sudah menjadi lahan perkebunan dan persawahan oleh masyarakat sekitar.
Desa ini terbilang cukup jauh dari ibu kota provinsi Sulawesi Selatan dan dapat diakses melalui 3 jalur utama. Pertama, melalui jalur utama kota Makassar, yakni dengan melewati kawasan perbukitan karst Taman Nasional Bantimurung, Bulusaraung dengan kondisi jalan yang cukup baik menanjak dan berkelok melewati kabupaten maros dengan jarak tempuh berkisar 230 km. kedua, melalui jalur selatan kota Makassar dengan melewati beberapa kabupaten seperti Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Bulukumba, namun jalur ini cukup jauh dengan jarak tempuh kurang lebih 250 km. berbeda halnya dengan jalur ketiga, dibagian timur kota Makassar yang merupakan jalur terdekat dengan jarak tempuh 160 km. Melewati jalan yang cukup berkelok dan menanjak. Namun, akan terobati dengan pemandangan menarik disepanjang jalan karena jalur ini akan melewati beberapa destinasi wisata alam yang cukup terkenal seperti wisata alam Malino atau sering disebut sebagai kota bunga di Sulawesi selatan.
Salah satu daerah yang cukup menarik dikunjungi di desa kompang adalah kampung Lappara dimana kampung ini merupakan salah satu wilayah yang secara administrative terletak di desa kompang kecamatan sinjai tengah kabupaten Sinjai. Menurut informasi dari masyarakat sekitar (bukan hasil penelitian atau sensus) kampung Lappara hanya dihuni oleh kurang lebih 100 kepala keluarga yang tersebar di 30 rumah. Kampung ini masih terbilang alami terlihat dari tata letak rumah yang beragam, terhubung oleh jalan setapak dari rumah ke rumah melewati pematang sawah dan perkebunan. Hal inilah yang menjadikan mayoritas masyarakat kampung Lappara berprofesi sebagai petani dengan mengantungkan hidupnya dari hasil komoditi perkebunan dan pertanian berupa tanaman kakao dan cengkeh.
Kehidupan warga kampung Lappara masih terbilang sederhana, masih jauh dari kehidupan modern. Hal ini nampak jelas terlihat dari kondisi rumah yang mayoritas rumah panggung dengan semi permanen. Kondisi dalam rumah yang sebagian besar belum layak tinggal, karena masih beralaskan tanah, tidak berkamar atau hanya disekat oleh lemari sebagai penyangga antar ruangan. Begitu pula dengan kondisi dapur, mayoritas masyarakat masih menggunakan tungku kayu untuk masak, serta pelita sebagai penerang. Meskipun di kampung ini sudah menggunakan genset dan tenaga surya sebagai sumber energi, namun tetap saja tidak mampu memenuhi kebutuhan listrik setiap rumah, karena barang-barang tersebut masih besifat perorangan yang memiliki batas waktu tertentu dalam penggunaannya.
Dari segi agama, 100% masyarakat kampung Lappara beragama islam dengan menganut tarekat Khalwatiyah samman yang melakukan zikir dan wiridnya dengan suara keras.
Berbeda halnya dengan pendidikan, mayoritas masyarakat di kampung ini tidak tahu membaca (buta huruf). Pola pikir masyarakat tentang pentingnya pendidikan itu masih rendah menyebabkan mereka kurang peduli. Dan hal ini terus berlanjut dari generasi ke generasi yang tidak mengenal pendidikan. Mereka sering dengar istilah sekolah, ingin sekolah namun tak ada sekolah karena di kampung ini tidak ada sekolah formal seperti kampung-kampung lain pada umumnya. Permasalahan inilah yang menjadi faktor utama penyebab kampung ini masih terbilang tertinggal dilihat dari kondisi pendidikan yang masih memprihatinkan.
Kampung Lappara dapat diibaratkan sebagai istilah “neraka di tengah surga”. Kekayaan alam yang melimpah ruah, kondisi tanah yang subur serta iklim tropis yang sangat bersahabat. Belum mampu menjadikan mereka hidup layak dengan menikmati keindahan dan kekayaan alam itu, seperti halnya masyarakat lain yang tinggal di daerah yang gersang tetapi dapat menikmati terangnya cahaya pijar di siang maupun di malam hari, dapat merasakan sentuhan seragam sekolah dipagi hari, duduk dibangku terdepan sambil tersenyum menyapa gurunya dari sudut kelas.
Prihatin dengan kondisi seperti ini. Akhirnya, komunitas pencinta alam (KPA) berinisiatif mendirikan sekolah, dibantu oleh masyarakat sekitar. sehingga dapat berdiri sekolah alam dan diberi nama, sekolah alam Lappara. Diawal berdirinya sekolah ini sempat menjalin kerjasama dan menjadi bagian dari salah satu sekolah formal yang ada di desa kompang. Namun seiring dengan waktu akhirnya kerjasama itu tak dapat dilanjutkan.
Sekolah alam Lappara cukup strategis berdiri di atas sebidang tanah dengan ukuran luas 12 m2. Sebuah sekolah yang masih beralaskan tanah, berdinding bambu, dilengkapi dengan ruang perpustakaan dan beberapa meja serta kursi yang sebagian besar sudah’ mulai rusak. Selain itu, dibagian luar samping sekolah merupakan jalan setapak yang kerap menjadi jalan lintas menuju salah satu destinasi wisata alam yang ada di kampung ini yakni puncak gunung Pattontongang, yang kerap banyak dikunjungi dan dilalui oleh para pendaki amatir maupun pencinta alam.
Untuk sampai ke lokasi ini membutuhkan waktu tempuh kurang lebih 2 jam melewati jalan setapak yang terjal dengan kemiringan 45o- 60o. Meskipun kendaraan roda dua bisa menjangkau tempat ini, namun, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sudah berpengalaman atau memiliki keterampilan yang cukup dalam mengendarai roda dua tersebut. Selain itu, kondisi jalan masih cukup memprihatinkan tampak dari beberapa struktur jalan yang bergelombang, berlubang dan licin serta tidak sedikit ditemukan batu cadas.
Sekolah alam Lappara sampai November 2016 memiliki 17 murid yang terdiri dari 8 murid perempuan dan 9 laki-laki. Sekolah ini, beroperasi bergantung dari relawan yang datang dan tidak beroperasi setiap harinya seperti sekolah-sekolah formal pada umumnya. Keterbatasan fasilitas, tidak adanya tenaga pendidik, serta jarak menjadi factor utama.
Namun, enam bulan terakhir beberapa komunitas intens mengirim relawan untuk mengajar dan berbagi pengetahuan. Sehingga adik-adik memiliki kesempatan untuk belajar tiap bulannya.
Kondisi sekolah serta adik-adik yang menjadi murid di sekolah ini masih cukup sederhana, jika dilihat belum mencerminkan anak sekolah pada umumnya. Karena ikut belajar bersama relawan hanya bermodalkan pulpen dan buku yang merupakan bantuan dari para relawan yang datang. Bukan hanya itu, jika di sekolah-sekolah formal nampak jelas terlihat dari murid-muridnya yang memakai seragam merah putih dan diselingi dengan batik dan pakaian olahraga serta dilengkapi dengan sepatu dan tas. Sangat jauh berbeda dengan kondisi murid yang ada di sekolah alam ini. Tidak memiliki seragam namun hanya memakai pakaian yang seadanya, memakai sandal jepit, serta buku dan pulpen yang ditenteng karena tidak memiliki tas.
Seperti inilah gambaran lokasi penyaluran Koin Untuk Negeri (KUN) edisi November – Desember sekaligus menutup program untuk edisi tahun 2016.
Seperti inilah gambaran lokasi penyaluran Koin Untuk Negeri (KUN) edisi November – Desember sekaligus menutup program untuk edisi tahun 2016.
Posting Komentar